Pada zaman dahulu kala di pinggiran sungai yang besar di Negeri Antau Jauh, hiduplah sepasang suami isteri dengan seorang anak semata wayangnya. Kehidupan mereka begitu damai, setiap hari suami-isteri tersebut hidup bercocok tanam, sedangkan anaknya bekerja seraya memancing ikan disungai besar yang mengalir deras airnya.
Rumah mereka memang agak terpencil dari rumah para penduduk desa Jambu Alo. Sungai yang besar tersebut banyak mengandung Ikan, Siput, dan Tengkuyung (Siput panjang). Memang sungai tersebut merupakan sarana bagi penduduk untuk mengambil ikan untuk dikonsumsi dan dijual.
Kehidupan sepasang suami isteri tersebut kian hari makin harmonis dan rukun. Anak semata wayang mereka begitu elok dan baik hati. Semua masyarakat dusun Jambu Alo waktu itu begitu senang bergaul dengannya.
Memang, didalam Al-qur’an Allah menegaskan bahwa : “Apakah kamu kira kami membiarkan saja kamu mengatakan “kami telah beriman” sedangkan tidak diuji lagi?” kira-kira begitu salah satu bunyi Firman Allah.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dielakkan, suatu hari, hujan begitu deras dari pagi, sementara si anak yang bernama Bujang Rahman asyik memancing ikan dipinggir sungai besar tersebut. Karena memang, diwaktu hujan, memancing disungai tersebut sangat mudah mendapatkan ikan.
Sedang asyiknya memancing, Bujang Rahman tidak menyadari bahwa air bah, atau air besar dari hulu begitu deras memporak-porandakan pinggiran sungai. Air mengaum bersama pepohonan yang tumbang, Bujang Rahman terkesiap, dan berusaha menyelamatkan diri, namun malang baginya, kakinya terpeleset dan tersambar air bah. Sementara ayah dan ibunya yang melihat ketika akan memanggilnya pulang, menjerit histeris menyaksikan buah hati belahan jantung, anak semata wayang yang dikasihi terseret dan hilang didalam air bah yang datang. Ibunya menangis meraung-raung seraya menjambak rambutnya hingga berguguran helai demi helai. Sedangkan siayah terjun kesungai untuk mencari anaknya.
Ketika hujan reda, penduduk mendengar suara jeritan dan ratapan isterinya dipinggir sungai yang menggaung. Lalu pendudukpun berlari kesana dan menyaksikan si ibu yang menangis meratapi sungai seraya meraung, menjerit dan meratapi suami dan anaknya yang telah hilang ditelan gelombang.
Tujuh hari tujuh malam, penduduk mencari menelusuri sungai tersebut, namun tiada diketemukan jejaknya. Si ibu selama itu terus menangis meraung-raung hingga suaranya hilang.
Pada suatu malam si ibu bermimpi bahwa anaknya telah berubah menjadi seekor Ikan Semah bermata merah yang besar, ia berkata kepada ibunya “Ibu, kalau engkau ingin menemuiku, datanglah kesungai pada tiap malam jum’at dan taburkanlah beras kunyit, aku akan datang padamu, bawalah jala atau tangguk dan ambilah ikan dibelakangku untuk menghidupi ibu”.
Begitulah, tiap malam jum’at si ibu datang kesungai memanggil anaknya dan membawa ikan-ikan dibelakang anaknya. Namun aneh, setiap kali ia memanggil anaknya, sungai bergemuruh atau meraung bunyinya.
Suatu ketika, seorang penduduk memancing disungai dan mendapat ikan semah besar bermata merah. Ia kegirangan, namun tengkuknya bergidik, karena ketika ia mendapat ikan tersebut, air begitu deras dan meraung-raung bunyinya. Anehnya lagi, ketika ikan tersebut digantung didapur, ia makin lama bertambah panjang.
Siibu yang mendengar keanehan tersebut berlari menghampiri rumah penduduk tersebut dan berkata agar ikan semah mata merah tersebut dikembalikan kesungai karena ikan tersebut adalah jelmaan dari anaknya Bujang Rahman.
Penduduk pun sepakat untuk mengembalikannya kesungai, dan setiap kali apabila ikan tersebut kena pancing, ia akan kembali memanjang dengan kesendiriannya, dan pendudukpun akan melepaskannya kembali.
Setiap malam jum’at, dan ketika ikan semah bermata merah kena pancing, suara sungai begitu aneh, seakan-akan meraung meratapi sesuatu. Dan mulai saat itu penduduk menamainya dengan sungai Batang Meraung. Namun lama kelamaan, kata meraung berubah menjadi “merao” atau “marawa” atau sungai ratapan.
Demikianlah legenda asal usul Sungai Batang Merao yang membentang dari Kerinci Hulu sampai bermuara di Danau Kerinci.
Sumber : Zarmoni
Foto : Google
Follow IG @panoramakerinci
Fans Page Fb : https://www.facebook.com/Panoramakerinci/
No comments:
Post a Comment